Awal Semuanya
Terlahir di Semarang, Ibukota Jawa Tengah, 61 tahun lalu. Sebagai penghargaan (?) Pemerintah tahun lalu memberi KTP (Kartu Tanda Penduduk) Seumur Hidup. Dilihat dari usia biologis teman-teman dan masyarakat pada umumnya menganggap saya sudah tua. Uzur bahkan. Namun semangat muda saya begitu kuat sehingga saya sama sekali tidak merasa diatas 60 tahun sampai suatu waktu beberapa waktu lalu saya harus diopname selama 14 hari. Sekarangpun masih rawat jalan. Ternyata tua juga yah.
Nama yang diberikan pada saat lahir di RS St Elizabeth di Candi Atas, Semarang, adalah Rudolf Willem Smit. Rudolf dari Bapak, yang lengkapnya adalah Arie Rudolf Cornelis Smit, alm., dan Willem dari Kakek, ayah bunda. Karena lama tinggal di luar negeri, khususnya di Negeri Bunga Sampaguita, Philippines, sesuai kebiasaan yang berlaku di Amerika Serikat nama saya menjadi Rudolf Willem van Sprew Smit. Van Sprew adalah marga bunda dan Smit marga ayah. Supaya diketahui, Philippines adalah bekas jajahan Amerika Serikat dan hampir seluruh gaya hidup disana mengacu pada negara bekas penjajah ini.
Adik saya Bram Petrus juga dilahirkan di Semarang sedangkan 4 adik saya yang lain semua lahir di Jakarta. Dari semua adik saya hanya 1 yang perempuan, Marietta, anak keempat. Dengan adanya 5 laki plus ayah maka kita sudah mengisi setengah dari team sepakbola. Nama-nama adik saya dari adik tertua sampai termuda adalah Bram Petrus Smit, Frank Johannes Smit (alm.), Marietta Smit, Hans-Peter Smit, dan Eduardus Smit (alm.)
Semua anggota keluarga Smit yang laki-laki bermain bola sepak, bola basket dan voli tetapi saya juga mencintai atletik dan di sekolah saya ikut di loncat tinggi dan lari cepat khususnya 100 meter. Sedangkan Marietta mengikuti jejak ibu menjadi seorang penari.
Kondisi kesehatan saya waktu remaja membuat saya sulit untuk terus bermain sepakbola sehngga akhirnya saya menjadi wasit. Sementara adik-adik terus bermain dan bergabung dengan team-team profesional. Bahkan Hans sampai saat ini adalah pelatih team junior dan team wanita di Philippines.
Keluarga Smit berangkat ke Philippines pada tanggal 5 Juli 1964 dan mendarat di Manila yang waktu itu baru saja dihantam angin topan (typhoon). Negeri jiran ini adalah langganan angin topan dan setiap tahun bisa dikunjungi belasan bahkan puluhan typhoon.
The Philippines (Filipina) menjadi rumah saya selama 19 tahun dan disinilah saya mengenyam pendidikan S-1, S-2. Pada awal kedatangan kami, untuk menyesuaikan diri dengan Bahasa Inggris, yang menjadi Bahasa Pengantar di sekolah, saya turun dari SMP Kelas 2 ke Kelas 7 Grade School kemudian naik lagi ke Kelas 3 High School setahun kemudian.
Filipina adalah bekas jajahan Amerika Serikat sehingga kiblat pemerintah dan masyarakat negeri bunga sampaguita ini adalah Amrik. Saya pun menikmati pendidikan a la Amrik tanpa harus pergi ke benua Amerika. Kebiasaan orang Amerika adalah memanggil orang dengan nama fam atau warga. Jadi saya dan adik-adik dipanggil Smit. Agak lucu, karena pernah saya bersama 2 adik laki-laki saya berjalan di sekolah bersamaan, kemudian ada yang memanggil "Smit." Otomatis kami bertiga menoleh dan saya harus bertanya "Smit yang mana yang kalian panggil?"
Pada usia 14 tahun, tak lama setelah kami sekeluarga mendarat di Filipina, saya menderita sakit pneumonia yg begitu akut. Ibu dengan naluri perawatnya berpikir saya menderita demam biasa. Sementara Ibu mencari dokter di Buku Petunjuk Telpon saya dibawa dalam perjalanan ke alam sana, alias koma, dgn suhu badan 41 derajat Celsius. Pengalaman mati suri inilah yang menjadi awal perjalanan spiritual saya yg sangat menakjubkan. Namun baru 33 tahun kemudian saya menyadari konsekwensinya.
Nama yang diberikan pada saat lahir di RS St Elizabeth di Candi Atas, Semarang, adalah Rudolf Willem Smit. Rudolf dari Bapak, yang lengkapnya adalah Arie Rudolf Cornelis Smit, alm., dan Willem dari Kakek, ayah bunda. Karena lama tinggal di luar negeri, khususnya di Negeri Bunga Sampaguita, Philippines, sesuai kebiasaan yang berlaku di Amerika Serikat nama saya menjadi Rudolf Willem van Sprew Smit. Van Sprew adalah marga bunda dan Smit marga ayah. Supaya diketahui, Philippines adalah bekas jajahan Amerika Serikat dan hampir seluruh gaya hidup disana mengacu pada negara bekas penjajah ini.
Adik saya Bram Petrus juga dilahirkan di Semarang sedangkan 4 adik saya yang lain semua lahir di Jakarta. Dari semua adik saya hanya 1 yang perempuan, Marietta, anak keempat. Dengan adanya 5 laki plus ayah maka kita sudah mengisi setengah dari team sepakbola. Nama-nama adik saya dari adik tertua sampai termuda adalah Bram Petrus Smit, Frank Johannes Smit (alm.), Marietta Smit, Hans-Peter Smit, dan Eduardus Smit (alm.)
Semua anggota keluarga Smit yang laki-laki bermain bola sepak, bola basket dan voli tetapi saya juga mencintai atletik dan di sekolah saya ikut di loncat tinggi dan lari cepat khususnya 100 meter. Sedangkan Marietta mengikuti jejak ibu menjadi seorang penari.
Kondisi kesehatan saya waktu remaja membuat saya sulit untuk terus bermain sepakbola sehngga akhirnya saya menjadi wasit. Sementara adik-adik terus bermain dan bergabung dengan team-team profesional. Bahkan Hans sampai saat ini adalah pelatih team junior dan team wanita di Philippines.
Keluarga Smit berangkat ke Philippines pada tanggal 5 Juli 1964 dan mendarat di Manila yang waktu itu baru saja dihantam angin topan (typhoon). Negeri jiran ini adalah langganan angin topan dan setiap tahun bisa dikunjungi belasan bahkan puluhan typhoon.
The Philippines (Filipina) menjadi rumah saya selama 19 tahun dan disinilah saya mengenyam pendidikan S-1, S-2. Pada awal kedatangan kami, untuk menyesuaikan diri dengan Bahasa Inggris, yang menjadi Bahasa Pengantar di sekolah, saya turun dari SMP Kelas 2 ke Kelas 7 Grade School kemudian naik lagi ke Kelas 3 High School setahun kemudian.
Filipina adalah bekas jajahan Amerika Serikat sehingga kiblat pemerintah dan masyarakat negeri bunga sampaguita ini adalah Amrik. Saya pun menikmati pendidikan a la Amrik tanpa harus pergi ke benua Amerika. Kebiasaan orang Amerika adalah memanggil orang dengan nama fam atau warga. Jadi saya dan adik-adik dipanggil Smit. Agak lucu, karena pernah saya bersama 2 adik laki-laki saya berjalan di sekolah bersamaan, kemudian ada yang memanggil "Smit." Otomatis kami bertiga menoleh dan saya harus bertanya "Smit yang mana yang kalian panggil?"
Pada usia 14 tahun, tak lama setelah kami sekeluarga mendarat di Filipina, saya menderita sakit pneumonia yg begitu akut. Ibu dengan naluri perawatnya berpikir saya menderita demam biasa. Sementara Ibu mencari dokter di Buku Petunjuk Telpon saya dibawa dalam perjalanan ke alam sana, alias koma, dgn suhu badan 41 derajat Celsius. Pengalaman mati suri inilah yang menjadi awal perjalanan spiritual saya yg sangat menakjubkan. Namun baru 33 tahun kemudian saya menyadari konsekwensinya.